Jika terjadi suatu kejadian yang menimpa negeri kita, maka biasakan untuk memakai fatwa para ulama di negeri ini. Karena fatwa mereka lebih akurat dan sesuai dengan realita yang terjadi di sini. Dalam berfatwa perlu mempertimbangkan empat hal, yaitu : waktu, tempat, kondisi dan manusia. Dan fatwa akan berubah-ubah sesuai perubahan empat hal di atas.
Untuk kejadian-kejadian yang sifatnya besar, penting, dan menyangkut urusan banyak orang, maka serahkan ke lembaga fatwa yang mempunyai otoritas untuk itu. Kalau di Indonesia, maka Majelis Ulama Indonesia (MUI). Jangan fatwa sendiri-sendiri. Terkhusus masalah yang berkaitan dengan penyebaran virus Covid -19 (Corona).
Jangan sembarangan menukil fatwa dari luar negeri, karena fatwa itu dikeluarkan dengan penyesuaian kondisi negeri tersebut. Jika diterapkan di Indonesia, belum tentu cocok, bahkan bisa menimbulkan mudharat.
Dan ingat, fatwa itu bukan hukum. Dua hal ini berbeda. Kalau hukum tidak akan pernah berubah dengan empat hal diatas. Maka kalau kita menukil hukum dari ulama luar, maka tidak masalah. Bagi yang sudah tamat belajar ilmu ushul fiqh, insya Allah akan paham masalah ini. Untuk yang belum belajar atau belum paham, silahkan belajar dulu.
Kalau memperhatikan dalil-dalil yang ada serta berbagai kaidah dan maqashid syari’ah, maka fatwa ulama yang menganjuran untuk sementara waktu menunaikan ibadah shalat lima waktu di rumah dan mengganti shalat Jumat dengan shalat Dhuhur disebabkan adanya penyebaran virus Corona, sangatlah tepat. Karena dalam kondisi ini, menjaga diri dari kemudharatan atau kebinasaan lebih diutamakan. Di sini berlaku kaidah : “Menolak kerusakan/kemudharatan lebih diutamakan dari mengambil manfaat.”
Selain itu, hal ini juga sebagai langkah preventif untuk terjadinya mudharat yang lebih besar. Semua perkara yang akan menjadi sebab terjadinya sebuah kemudharatan, maka harus dihindari.
Jika syari’at saja membolehkan seorang untuk meninggalkan shalat berjama’ah karena alasan hujan, sakit, makan bawang, hidangan sudah siap, menahan buang air kecil dan buang air besar, dan yang semisalnya, yang semua ini sifatnya lebih ringan dan sebagian mudharatnya hanya kembali kepada personal, maka alasan penyebaran virus Corona tentu lebih diperbolehkan lagi. Selain mudharatnya besar, sifatnya juga merata.
Imam Asy-Syirazi Asy-Syafi'i –rahimahullah- (w.476 H) menyatakan :
وَمِنْهَا أَنْ يَخَافَ ضَرَرًا فِي نَفْسِهِ
“Diantaranya (alasan untuk meninggalkan shalat berjama’ah), adalah seorang mengkhawatirkan kemudharatan pada dirinya.” [ Al-Muhadzdzab, lewat kitab Al-Majmu’ : 4/205 ].
Kemudharatan di sini tidak harus bersifat muhaqqaq (pasti), tapi cukup dengan praduga kuat. Keterangan ini berlaku untuk daerah yang terjadi penyebaran virus Corona pada tingkat yang mengkhawatirkan menurut keterangan pihak berwenang dan para ahli. Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber: Abdullah Al Jirani
Sumber: Abdullah Al Jirani
EmoticonEmoticon