Menjelang Hari Raya Idul Fitri, masyarakat Indonesia pada umumnya akan berbondong-bondong untuk menukarkan uang baru dengan nominal yang lebih kecil yang mana uang tersebut akan dibagi-bagikan ke sanak famili di kampungnya. Praktek tukar menukar ini biasanya dilakukan di Bank atau biasanya di pinggir jalan yang memang disedikan untuk menukar uang. Untuk yang di pinggir jalan ini biasanya nominal uang yang ditukar tidak sama. Seperti menukar seratus ribu rupiah maka akan mendapatkan 90.000 rupiah dan seterusnya. Jadi ada selisih uang yang mana mereka anggap ongkos dari menukar uang tersebut.
Bagaimana hukum tukar menukar uang tersebut dan termasuk dalam akad apa praktek tersebut?
Mengingat bahwa pada zaman sekarang, mata uang terkait dengan neraca perdagangannya, bukan berdasarkan cadangan emas dan perak yang dimilikinya, maka hukum transaksi di atas adalah :
- Menurut ulama’ Syafi’iyyah, hukumnya diperbolehkan, karena mata uang rupiah tidak tergolong mal ribawi.
- Menurut ulama’ Malikiyyah, hukumnya tidak diperbolehkan, karena mata uang rupiah bisa disetarakan dengan emas dan perak dalam unsur ribawi-nya.
Akad yang terjadi adalah akad jual beli (akad bay')
Referensi : Tuhfah al-Muhtaj juz VI hlm. 212, Hâsyiyah Al-Bujarimi ‘ala Al-Khathîb juz VII hlm. 339, I’ânah al-Thâlibîn juz III hlm. 12-13, Qaul al-Munaqqah hlm. 5, Al-Fawâkih al-Dawâni juz V hlm. 403 dan Hâsyiyah Al-’Adawi juz V hlm. 450
تحفة المحتاج الجزء السادس عشر ص: 212
(كتاب البيع) قيل أفرده لإرادته نوعا منه هو بيع الأعيان ويرد بأن إفراده هو الأصل إذ هو مصدر وإرادة ذاك تعلم من إفراده السلم بكتاب مستقل وهو لغة مقابلة شيء بشيء وشرعا عقد يتضمن مقابلة مال بمال بشرطه الآتي لاستفادة ملك عين أو منفعة مؤبدة وهو المراد هنا وقد يطلق على قسيم الشراء فيحد بأنه نقل ملك بثمن على وجه مخصوص والشراء بأنه قبوله على أن لفظ كل يقع على الآخر وأركانه عاقد ومعقود عليه وصيغة .
EmoticonEmoticon